Jika sebelumnya kita sudah menelaah lebih jauh tentang zionisme dan
pengaruhnya terhadap tokoh pergerakan di Eropa dan Asia, akan sangat
menarik apabila kita kembali kepada permasalahan lokal sejarah para
founding father
negara ini merumuskan dasar negara yang di sebut pancasila, benarkah
ini murni hasil kesepakatan bangsa Indonesia atau malah misi zionisme
terhadap bangsa-bangsa yang baru merdeka. Mari kita lihat.
Dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia, Kekaisaran Jepang, melalui
Perdana Menteri Kuniaki Koiso mengumumkan janji pemberian kemerdekaan
kepada segenap rakyat Indonesia. Pengumuman ini dikeluarkan di depan
resepsi istimewa The Imperial Diet yang ke 85 pada 7 September 1944.
Langkah pertama pelaksanaan janji ini ialah pembentukan “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai”
atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
pada tanggal 29 April 1945, hari ulang tahun Kaisar Jepang. Badan
Penyelidik yang beranggotakan 62 orang ini, termasuk Dr. Rajiman
Widyodiningrat dan R.P. Soeroso masing-masing sebagai Ketua dan Wakil
Ketua, dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 dan menyelesaikan tugasnya di
Gedung Pejambon dalam dua kali sidang. Pertama, berlangsung dari tanggal
29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. Dan yang kedua, berlangsung dari
tanggal 10 sampai dengan 16 Juli 1945. Pada hari terakhir sidang
pertama, Soekarno, salah seorang anggota Badan Penyelidik, menyampaikan
pidato sebagai berikut:
Saudara-saudara! sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta philosophische grondslag atau jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka,
dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas
suatu “Weltanschauung”. Hitler mendirikan Jermania di atas
“national-sozialistische Weltanschauung”, filsafat-nasional-sosialisme
telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler
itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu “Weltanschauung”, yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu “Weltans-chauung”, yaitu yang dinamakan “Tennoo Koodoo Seishin”.
Di atas “Tennoo Koodoo Seishin”, inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”, bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah lama harus kita
bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia
Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian
untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung”, bekerja
mati-matian untuk me-realiteitkan” “Weltanschauung” mereka itu. Maka
oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat
Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara
merdeka didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s”, - John Reed, di
dalam kitabnya: Ten days that shook the world, “sepuluh hari yang menggoncangkan dunia”, walaupun Lenin mendirikan Sovyet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi “Weltanschauung” telahnya tersedia berpuluh-puluh tahun.
Terlebih dulu telah tersedia “Weltanschauung”-nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas “Weltanschauung” yang sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung” itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905, Weltans-chauung itu “dicobakan”, di “generale-repetitie-kan”.
Lenin, di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri “generale-repetitie” dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschauung”
itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya
dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari
itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruh-kan kekusaan
itu diatas “Weltanschauung” yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung”
itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1912 dan 1922
beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Nazisme
ini, “Weltanschauung” ini, dapat menjelma dengan dia punya “
Munchener Putsch”, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya
yang beliau dapat merebut kekua-saan, dan negara ditelakkan oleh beliau
di atas “Weltanschauung” yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendiri-kan negara Indonesia
Merdeka, Paduka tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah
“Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka
diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme?
Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok Merdeka, tetapi “Weltans-chauung” nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The three people’s principles”
San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme,
demokrasi, sosialisme, - telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen
Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan
negara baru di atas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, yang telah
disediakan terdahulu berpuluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia, merdeka di atas
“Weltanschauung” apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu
I-kah, atau “Weltanschauung” apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak
pikiran telah dikemuka-kan macam-macam, tetapi alangkah benar perkataan
dr. Soekiman, perkataan Ki Bagus Hadikusumo, bahwa kita harus mencari
persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari
persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang
kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setuju,
yang Ki Bagus setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanusi setujui,
yang sdr. Abikusno setujui, yang sdr. Lim Kun Hian setujui, pendeknya
kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita
bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui.
Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita
hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu
golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja
Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu
orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk
memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang
bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang
dinamakan Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang
demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara
“semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,
baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat
semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi.
Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di
dalam beberapa hari di dalam sidang Dokoritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan
tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang
baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.