Setelah kegiatan Mason
Bebas di mulai pada tahun 1764 di tandai dengan berdirinya “La
Choisie” atas prakarsa J.C.M Radermacher di Batavia, hingga melewati
Perang Dunia I Freemason di Indonesia tidak mengalami masalah yang
berarti di karenakan dengan mendompleng VOC mereka dengan lugas dapat
menguasai sendi-sendi perpolitikan Indonesia. Berbekal merekrut
orang-orang yang mempunyai “kemampuan” lebih serta “strategis” di
Volksraad dan Raad Van Indie, kaum Mason Bebas melebarkan banyak
kepentingannya untuk bercokol serta eksis di Indonesia. Bahkan Boedi
Oetomo tak lepas dari cengkraman Mason Bebas.
Masalah mulai datang ketika perang dunia kedua dimana Jepang berhasil menduduki Indonesia. Jepang
seperti kita tahu berhasil menghancurkan pangkalan militer Amerika
Serikat di Pearl Harbour yang merupakan pemicu Perang Asia Timur Raya. Seperti
Negara-negara lainnya, Jepang berhasil mengusir para Belanda dari
lokasi-lokasi strategis dan menggantinya dengan infrastruktur dari
Jepang. Tak urung segala bentuk Loji (rumah pemujaan Mason Bebas) dan
ritual Freemason di bredel oleh Jepang karena mencerminkan
“ke-Belandaan”. Beberapa Loji di sejumlah daerah seperti Loji Mataram,
Loji Malang, serta Loji De Ster in het Oosten Batavia menjadi sasaran
Jepang. Para awak Mason Bebas ini pada akhirnya ada yang menjadi tawanan
di kamp Baros Cimahi dan segala usaha untuk
memunculkan ritualpun berhasil digagalkan oleh Jepang. Pada masa inilah
Freemason di Indonesia mengalami masa kritis dan surut di karenakan
dirinya seperti tidak mempunyai pelindung dan nyawa untuk bertahan
hidup.
Setelah
sekutu melakukan bom atom pada kota Nagasaki dan Hiroshima yang
berimbas Jepang menyerah kepada sekutu, sekaligus momentum Indonesia
mendeklarasikan secara de facto telah merdeka, Mason Bebas juga seiring
dengan hal tersebut bangkit ke permukaan setelah tidur bermimpi buruk
pada masa pendudukan Jepang. Usaha-usaha dari Mason Bebas yang semakin
militan ini di tandai dengan terang-terangan membuat “tameng” dengan
dalih bahwa asas-asas Mason bebas sesuai kepribadian bangsa Indonesia.
Ketika Indonesia berubah format menjadi Republik Indonesia Serikat
(RIS), pada tanggal 21 Desember 1949 Pengurus Besar Provinsial Mason
Bebas Indonesia mengirimkan telegram kepada presiden Indonesia kala itu
yaitu Ir. Sukarno dan mengirim pula telegram kepada Perdana Menteri M.
Hatta yang juga di balas oleh beliau juga
menyatakan terima kasihnya dan juga atas nama-nama anggota kabinetnya,
atas ucapan selamat dan atas penegasan bahwa salah satu sila Pancasila
di Undang-Undang Dasar tentang kemanusiaan, seluruhnya mendapat
resonansinya dalam asas-asas Tarekat Mason Bebas. Adapun telegram kepada
Presiden RIS, Ir Sukarno adalah sebagai berikut:
“Berhubung
dengan pengangkatan Yang Mulia sebagai presiden pertama Republik
Indonesia Serikat, Tarekat Mason Bebas dengan segala hormat mengucapkan
selamat kepada Yang Mulia, dan menegaskan kepada Anda bahwa
tujuan-tujuan RIS untuk melayani kemanusiaan seluruhnya mendapat
resonansi dalam asas-asas Tarekat Mason Bebas.”
Pada
awalnya Tarekat Maosn Bebas Indonesia ini tidak pernah mendapatkan
perhatian serius oleh pemerintah kala itu, tapi sebaliknya Tarekat Mason
Bebaslah yang memberikan “perhatian” serius terhadap pemerintahan.
Kalangan atas tidak bergejolak dengan Mason Bebas, bukan berarti kalangan
rakyat tidak bergejolak dengan Mason Bebas. Di dalam lapisan bawah
masyarakat sudah terjadi kegoncangan perihal para Mason yang melakukan
pemujaan di dalam Loji. Masyarakat kawasan Menteng tampak gerah dengan
di buatnya gedung Adhuc Stat sebagai Loji Mason Indonesia, ritual-ritual
kebatinanpun terdengar sampai kepelosok Menteng
dan karena ajaran kebatinan yang berhubungan dengan arwah dan pemujaan
terhadap kultus inilah oleh masyarakat Menteng Loji Adhuc Stat disebut
sebagai “Rumah Setan” (foto bawah). Loji ini dahulu ketika pendudukan
Jepang di jadikan Jepang sebagai tempat menyiksa para pejuang
kemerdekaan. Desas desus inipun sampai kepada presiden Sukarno dan pada
tanggal 3 Maret 1950 delegasi dari Mason Bebas menemui presiden untuk
menjelaskan desas desus tersebut.
Tak
urung delegasi dari Mason Bebas ini membuat 2 artikel sebagai bukti
bahwa Mason Bebas hanyalah organisasi biasa yang di kutip dari
Konstitusi Freemason karangan J. Anderson. Tanya jawab antara Presiden
Sukarno dan delegasi Mason Bebas inipun di catat dalam catatan mereka “De Conseoratie” halaman 12-14:
Sukarno: Apakah Mason menganut ajaran Satu Tuhan yang ekslusif (Pantheist) atau Tauhid (Monotheist) ?
Delegasi Mason: Ada tempat bagi kedua aliran ketuhanan di dalam wadah perkumpulan, yang terutama adalah pecaya kepada Kemahakuasaan Tuhan.
Sukarno: Apakah ateis di terima di dalam perkumpulan?
Delegasi Mason: Hal itu tidak diperbolehkan untuk bergabung dengan kami.
Sukarno: Apakah para Mason adalah pemikir bebas?
Delegasi Mason:
Kami menghormati pandangan keagamaan setiap orang dan tidak mematok
secara khusus agama yang di jadikan penyeragaman bagi semuanya, tetapi
kami diantara kami ada pemikir bebas.
Sukarno: Mengapa ada yang mengatakan bahwa Freemasonry hanya berbuat baik kepada para anggotanya saja?
Delegasi Mason:
Itu adalah sebuah pemikiran salah yang berkembang secara luas. Kami
menderma sebagai paling utama dalam diri seorang Mason yang di
lambangkan dengan meletakan sebuah logam di sisinya.
Sukarno: Bagaimana anda mendapatkan nama “masons” and mengapa diawali dengan awalan “free” pada ini (namanya pen.)?
Delegasi Mason:
Konsep dari Freemasonry ini dapat di lihat dari sisi sejarah dan sisi
idealnya. Dalam sejarah, kita kembali kepada abad-abad pertukangan,
idealnya, kepada susunan arsitektur, yiatu Kuil Humanitas, awalan “free”
berarti tingginya sesuatu yang yang kami punyai untuk menghargai
keyakinan agama orang lain sehingga siapapun dapat memberikan sumbangsih
dengan sesuatu yang dia punyai sendiri.
Sukarno: Apakah benar bahwa Masons selalu membantu orang lain?
Delegasi Mason: Kami membantu seorang Saudara (Bruder), tetapi kami tidak pernah memilih dia diatas bukan mason yang lebih berkualitas.
Setelah
tanya jawab itu akhirnya delegasi dari Mason Indonesia memberitahu
Presiden Sukarno jika Freemason tidak terikat dengan kepentingan politik
dan tidak pernah mentolerir diskusi tentang apapun dalam kaitannya
dengan agama. Delegasi Mason pun memberi tahu bahwa mereka di dalam
prinsip-prinsip Freemaosnry bertanggung jawab atas kepribadian
orang-orang Indonesia. Namun presiden Sukarno masih saja menaruh curiga
terhadap Freemasonry ini, akhirnya pertanyaan terkahir adalah:
Sukarno: Mengapa orang-orang Indonesia masih menjuluki Lodge/Loji sebagai rumah setan?
Delegasi Mason:
Mungkin suasana misterius menyelimuti seluruh kawasan Lodge/Loji.
Keadaan misterius ini akan kami segera ubah. Kemungkinan tentang kata
“setan” adalah penyebutan yang salah dari orang suci yang kami puja
yaitu Sint Jan.
Itulah
usaha dari Freemason untuk mengelabui Presiden Sukarno ketika itu,
padahal dalam Freemasonry unsur kebatinan dan kaballah (mistik Yahudi)
sangatlah kental sehingga ritual-ritual gaibpun menyelimuti Lodge/Loji.
Dari kecurigaan itulah yang nantinya akan membawa dampak dengan
dikeluarkannya Keppres No. 264 tahun 1962 yang berisi tentang pelarangan
sejumlah organisasi import termasuk di dalamnya Freemasonry (Loge
Agung Indonesia) dengan alasan berasal dari luar dan tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia. Setelah Keppres itu turun, maka
Loge Agung Indonesia/ Vrijmetselaren Loge (Federasi Mason Indonesia
atau Freemasonry Indonesia) dalam hal itu bertempat di Loji Adhuc Stat
dan seluruh Loji di Bandung, Semarang, dan Surabaya di nyatakan sebagai
organisasi terlarang dan harus di hentikan kegiatannya.