Indonesia,
sebagaimana negara berkembang lainnya memiliki permasalahan sosial yang
tidak sederhana. Namun, penting untuk dipertanyakan mengapa Indonesia
lebih tertinggal dari Malaysia atau Singapura, padahal Indonesia lebih
awal merdeka. Padahal konon Indonesia memiliki potensi sumber daya alam
yang sangat baik. Tetapi mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia
saat ini hanya berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di dunia.
Bahkan yang paling mengerikan, Indonesia mengalami krisis yang
berkepanjangan.
Krisis
ekonomi yang dikuti dengan berbagai krisis lainnya, menyadarkan kita
akan pentingnya modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif
masyarakat yang berupa kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi,
kepercayaan, dan tanggung jawab tiap anggota masyarakat dalam memainkan
setiap peran yang diamanahkan. Bila energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat.
Perkembangan
masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa
ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh
elemen bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial
namun juga dunia pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai
wahana dan “agent of change” bagi masyarakat. Kondisi masyarakat
Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta
status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap
perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Untuk itu dipandang sangat
penting memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem
pendidikan di Indonesia baik melalui substansi maupun model
pembelajaran. Hal
ini dipandang penting untuk memberikan pembekalan dan membantu
perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian serta melatih kepekaan
peserta didik dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial
sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.
1. Pendahuluan
Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect
yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan
kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah
yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang
miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber
daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia
yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan
kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial,
konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi
masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras,
agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap
perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian
memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama
dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit,
konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah
menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat
memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,
Untuk
itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural
sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar
peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan
masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras,
agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
2. Perspektif Tentang Pendidikan Multikultural
Pendidikan
Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai
sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak
kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah
negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang
besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang
untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari
etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut
tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai
keberhasilan akademik.
Banks
(1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat
fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis
pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis
sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi
keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal
yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai
menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase
keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan
antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi
kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan
multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses
pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga
semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas
sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama
untuk menikmati pendidikan.
Nieto
(1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah
pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan
ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang
penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan;
mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan
murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana
pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya
bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis
yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid
untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan
sosial.
Wacana
multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya
ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan
jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau
dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang
menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi
yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali
sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang
berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa
hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut
Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang
mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme
merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau
sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme
budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan
menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan
termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang
multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum,
tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat
secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
3. Implementasi Dalam Dunia Pendidikan
Uraian
sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan
multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas,
soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya
dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan
spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap
kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan
keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang
berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan
menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian.
Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan
menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk
menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara
sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan
sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan
multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga
pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari
kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan
pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern
dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai
keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada
konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural
adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati
terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi,
penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau
setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable)
seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau
ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah
kultur monolitik dan uniformitas global.
Dalam
sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau
pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik,
sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana
pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya
akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai
kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau
asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial
Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang
mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa
perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara
khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu
adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an,
suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten
dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang
dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka
menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan.
Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi
pendidikan multikultural.
Tahun
1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang
berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti
dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner
dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan
multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan
akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant,
Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan
lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja
yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan
transformasi dan perubahan sosial.
Didorong
oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga
pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan
pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional
untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya
prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural
sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama
dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat
populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai
strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap
sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara
ini.
Ide
pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global
sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa.
Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan
hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima
nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin,
masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi,
berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya
meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan
solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga,
pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik
secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga
meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta
didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh
kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep
pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan
di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis,
ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan
multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang
dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok
yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Pada
konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural
semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik
Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak
hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang
meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita
perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal
semangat primordialisme tersebut.
Secara
generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat
dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua
siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya.
Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah
untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan
ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif
mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk
berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok
beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan
untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
- Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
- Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
- Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
- Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan
multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan
perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas
wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa
aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural
dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat
toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan
jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan
budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan.
Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan
hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa
butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
4. Penutup
Pendidikan
multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan
tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan
dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan
formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem
pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU
maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural
ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri,
namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja
melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan
diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi
misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat
dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural,
misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program,
dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan
multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn,
Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran
yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan
sebagainya.
Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak
kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat
diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai
institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran
yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai,
serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam
menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan
mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di
sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota
keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk
mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.
5. Daftar Pustaka
Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
——, (1994), An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights, MA
Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.
Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.
*Artikel ini disarikan dan bersumber dari:
Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia(Sebuah Kajian terhadap Masalah-Masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini)
oleh: Pupu Saeful Rahmat
Staf Pengajar pada Prodi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Kuningan