Rabu, 31 Agustus 2011

LIBERALISME PENDIDIKAN: Hanya Mengorbankan Cita-cita Kemandirian Umat

Pada Konferensi Nasional Pendidikan Nasional dalam Arus Neoliberalisme di Bandung, yang berakhir minggu 15 Mei 2005, dikatakan bahwa liberalisasi dan privatisasi pendidikan akan menjauhkan cita-cita bangsa dan akan melumpuhkan kemampuan masyarakat sehingga akan mengembalikan Indonesia sebagai bangsa kuli dan bangsa terjajah (Kompas,16/05/2005). Anggota komnas HAM Dr. Habib Chirzin menilai, negara telah gagal memenuhi kewajiban dalam pendidikan yang merupakan hak dasar setiap warga negara, bahkan dalam penyediaan anggaran pendidikan sekalipun. Padahal dalam APBN, kewajiban minimal negara dalam pendidikan adalah 20 persen. Senada dengan Chizrin, Pakar ekonomi Prof. Dr. Sri Edi Swasono mengemukakan, liberalisme pendidikan merupakan bagian dari komitmen Washington yang akan melumpuhkan bangsa Indonesia (Kompas, 16/05/2005). Sehingga, bukan hal yang mustahil kalau dalam waktu 30 tahun lagi Indonesia akan menjadi seperti suku Aborigin!


Berbicara masalah liberalisme pendidikan, sangat terkait erat dengan pandangan bahwa pendidikan dipandang sebagai komoditas yang diperdagangkan. Pro kontra pun muncul dimana-mana. Kemudian, bermunculan pula berbagai macam solusi yang coba untuk ditawarkan. Islam, kiranya telah memberikan solusi yang rasional dan menyeluruh atas permasalahan tersebut.

Pendidikan Sebagai Komoditas = Berlakunya Hukum Pasar

Kebijakan pendidikan di Indonesia memiliki kecenderungan menyerahkan urusan pendidikan kepada individu dan masyarakat (private). Pendidikan bukan lagi menjadi bagian wilayah public yang dijamin oleh negara. Individu dan masyarakatlah yang memiliki kewajiban awal untuk mengupayakan secara mandiri sedangkan negara bertindak sebagai benteng pamungkas jika ada sebagian masyarakat yang tidak mampu memenuhinya.

Dampak otonomi daerah sebagai kebijakan pengelolaan pemerintahan di Indonesia memang luar biasa. Masing-masing kabupaten menjadi `negara kecil' yang bebas mengeluarkan kebijakan khususnya tentang pembiayaan pendidikan. Karena pendapatan asli daerah (PAD) beragam, dijumpai beberapa kabupaten `kaya' mampu membebaskan biaya pendidikan (gratis) –seperti pada kasus Jembrana yaitu sebuah kabupaten di pedalaman pulau Bali-- sedangkan daerah lain yang miskin harus bersusah payah mensubsidi pendidikan.

Dalam skala nasional, munculnya BHMN, KBK, MBS, dan Rancangan BHP (Badan Hukum Pendidikan) adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi. Kisah gagalnya siswa berpotensi masuk ke perguruan tinggi tersebut lantaran ketidakmampuan membiayai, kerap menghiasi media massa menjelang tahun ajaran baru. Tak heran, kekhawatiran tentang nasib pendidikan generasi akibat komersialisasi pendidikan semakin menguat.

Sebagai gambaran menyakitkan, sebuah studi yang dilakukan di 100 kabupaten/kota, realisasi anggaran pemerintah daerah pada 2001 rata-rata hanya 3,4 persen. Tentu ini angka yang sangat jauh dari angka 20 persen yang diamanatkan konstitusi.

Artinya, ketika pendidikan diperlakukan sebagai komoditas, pendidikan akan diatur sesuai dengan hukum pasar. Meningkatnya permintaan pendidikan akan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. Kita tentunya perlu waspada jangan sampai pameo `orang miskin dilarang sekolah' akhirnya terbukti.

Adapun apa yang disebut sebagai beasiswa bagi orang miskin atau subsidi silang merupakan program karikatif dalam sistem neoliberal. Program karikatif hanya menunjukan kegagalan sistem ekonomi neoliberal. Dalam praktiknya, jumlah siswa yang diberi beasiswa amat sedikit dan orang miskin belum apa-apa sudah ketakutan untuk mencoba masuk sekolah dan perguruan tinggi yang mahal.

Advokasi Pendidikan Saja tidak Cukup

Beberapa kalangan mengusulkan agar pemerintah melakukan advokasi pendidikan. Yaitu dengan membenahi gedung-gedung sekolah yang ambruk, meningkatkan kesejahteraan guru, dan lain-lainnya. Hal tersebut sebagaimana yang dikemukakan Rektor Universitas Islam Negeri Malang Prof. Dr. Imam Suprayogo. Belua juga mengatakan bahwa pendidikan selama ini tidak diurus sehingga terus merosot dan kebijakan advokasi pendidikan adalah solusi yang ditawarkannya. Akan tetapi, benarkah hal itu menjadi solusi atas carut-marutnya pendidikan?

Tentu, secara mendasar solusi di atas tidaklah cukup. Karena dalam pandangan Islam, pendidikan itu adalah hak semua rakyat, tanpa kecuali. Advokasi pendidikan justru merupakan bentuk tambal sulam terhadap sistem liberal yang selama ini berjalan. Hal ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah, kecuali hanya parsial belaka. Artinya, mesti ada perubahan total visi pendidikan di Indonesia menjadi visi syariah. Jika seorang aktivis perempuan Dr. Musda Mulia menyarankan agar membangun kampanye antineoliberalisme, maka alangkah lebih arif jika dibarengi dengan kampanye syariah Islam.

Kebijakan Islam tentang Pembiayaan Pendidikan

Negara dalam pandangan Islam semestinya bertanggungjawab atas terselenggaranya pendidikan yang murah, bermutu dan Islami bagi seluruh rakyat, menyediakan sarana prasarana yang memadai, guru yang berkualitas dan biaya operasional, terutama mengarahkan agar sistem pendidikan yang diselenggarakan mampu mewujudkan tujuan pendidikan Islam.

Maka, semestinya pendidikan harus ditempatkan sebagai bagian dari pelayanan kepada masyarakat (public services) semata yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Membiarkan pendidikan berkembang sebagai sebuah industri yang selalu menghitung cost and profit sehingga cenderung makin mahal sebagaimana tampak dewasa ini jelas bertentangan dengan prinsip pendidikan untuk seluruh rakyat sebagai public services tadi karena pasti tidak semua rakyat mampu menikmatinya secara semestinya.

Dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, pemerintah akan bertumpu pada dua elemen sistem besar, yakni ekonomi dan politik. Politik akan melahirkan kebijakan-kebijakan, sementara ekonomi akan melahirkan pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan dana. Kedua fungsi ini akan saling menunjang penyelenggaraan layanan umum (public services) yang merupakan kewajiban negara untuk setiap warga negaranya. yakni pada lapangan kesehatan, pendidikan, keamanan dan infrastruktur.

Hal inilah yang pernah terjadi pada masa kejayaan Islam. Pendidikan dilaksanakan oleh negara secara murah bahkan cuma-cuma untuk seluruh rakyat.

Rasulullah SAW pernah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar, bahwa para tawanan itu bisa bebas dengan mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis.

Dengan tindakan itu, yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke baitul mal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis, berarti Rasulullah SAW telah menjadikan biaya pendidikan setara dengan barang tebusan. Artinya, Rasul memberi upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal.

Menurut Al-Badri (1990), Ad Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari Al Wadliyah bin atha', yang mengatakan bahwa kepada ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di Madinah, Khalifah Umar Ibnu Al Khathab memberi gaji sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas).

Al-Badri (1990) juga menceritakan bahwa Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam, memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan agar ibadah dan mu'amalah kaum muslimin dapat diterima (sah). Ia menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan.

Dalam perkembangannya, setiap khalifah berlomba-lomba membangun sekolah tinggi Islam dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang diperlukan. Pada setiap sekolah tinggi dilengkapi dengan iwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama penampungan mahasiswa, perumahan dosen dan ulama. Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur dan ruang makan, bahkan juga taman rekreasi.

Di antara sekolah-sekolah tinggi yang terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Di antara madrasah-madrasah tersebut yang terbaik adalah Madrasah Nizhamiyah. Sekolah ini akhirnya menjadi standar bagi daerah lainnya di Irak, Khurasan (Iran) dan lainnya.

Berdasarkan sirah Nabi SAW dan tarikh Daulah Khilafah – sebagaimana disarikan oleh Al Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, negara memberikan jaminan pendidikan secara cuma-cuma (bebas biaya) dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban yang harus dipikul negara serta diambil dari kas baitul maal. Sistem pendidikan bebas biaya tersebut didasarkan atas ijma shahabat yang memberi gaji kepada para pengajar dari baitul maal dengan jumlah tertentu. Di Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan Khalifah Al Muntashir di kota Baghdad, setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya. Fasilitas sekolah tersedia lengkap, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit dan pemandian. Begitu pula dengan Madrasah An-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad keenam Hijriah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan untuk siswa, staf pengajar dan para pelayan serta ruang besar untuk ceramah.

Itu terjadi, jika kebijakan syariah Islam dalam pendidikan dibarengi kebijakan syariah dalam ekonomi. Ekonomi Islam yang memposisikan kepemilikan umum betu-betul dilindungi dari kepemilkian individu. Bahkan suatu keharaman mengambil hak umum oleh individu. Sebagai simulasi, asumsi hasil hutan (2001) mencapai 7 - 8 miliar USD (Rp. 63 trilyun - 72 trilyun), sedangkan untuk tambang emas Freeport: 300 ton pertahun x 1.000 kg/ton x 1.000 gr/kg x Rp.100.000/gr = Rp. Trilyun. Artinya, angka ini saja jauh melebihi anggaran pendidikan dari SD – SMA sebesar Rp. 57,1 trilyun pertahun (Lokakarya Pendidikan Nasional HTI, 24/07/2004).

Langkah Praktis yang Diusulkan

Guna mengatasi problem liberalisasi pendidikan, maka perlu dilakukan langkah-langkah yang sistematis dengan merombak semua sistem mulai paradigma pendidikan hingga paradigma ekonomi. Beberapa langkah praktis yang harus dilakukan di Indonesia antara lain:
  1. Meninjau ulang kebijakan penetapan sebagai BHMN (Badan Hukum Milik Negara) kepada sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang telah terbukti makin membuat mahal biaya pendidikan di tempat itu sehingga sangat memberatkan dan menyakiti rakyat. Juga mengawasi agar otonomi penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah tidak membuat biaya makin melambung yang tidak terangkau oleh rakyat banyak.
  2. Menghentikan komersialisasi pendidikan karena secara pasti hal itu akan mengancam terpenuhinya hak seluruh rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu tinggi, murah, dan Islami.
  3. Melaksanakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia secara murah, bermutu tinggi dan Islami bagi seluruh rakyat sebagai bagian dari public services semata yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya sehingga terlahir secara massal SDM yang berkepribadian Islami dan berkualitas unggul yang memiliki daya saing internasional yang tinggi yang akan mampu mengangkat negeri ini dari berbagai keterpurukan yang ada.
  4. Melaksanaan pengelolaan harta kekayaan negara dan kekayaan alam sebagai milik umum rakyat sesuai dengan syariah sehingga dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi pembiayaan pelayanan publik, termasuk penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, murah, dan Islami.
  5. Menyadari bahwa apa yang dilakukan negara dan pemerintahan kepada rakyatnya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT di hari kiamat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah saw: "Seorang Imam (Kepala Negara) yang memimpin manusia adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungawaban tentang pemeliharaan urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhari).
Tidak berlebihan kiranya, jika dikatakan bahwa buah pahit yang akan dituai negeri ini dari diberlakukannya liberalisme di bidang pendidikan adalah semakin jauhnya harapan dalam meraih cita-cita kemandirian. Karena, kemandirian sebuah negara, selain dipengaruhi keshahihan sistem yang diterapkan, juga mesti ditopang oleh SDM yang shahih dan berkualitas. Dengan tidak meratanya akses atas pendidikan yang layak (diantaranya karena persoalan biaya), maka akan sulit ditemukan SDM yang berkualitas dan siap menjadi pemimpin umat. Terlebih, Cita-cita kemandirian hanya akan tinggal harapan nun jauh di sana. Wallahu a'lam ***


Sumber:  www.kalam-upi.info
IMAGINATION IS MORE IMPORTANT THAN KNOWLEDGE ~ALBERT EINSTEIN~

Mu'allimin Scientific Community